TGKH. M. ZAINUDDIN ABDUL MAJID : Tuan Guru yang Penyair & Ulama yang Fakih
September 30, 2021Maulana Syekh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan sosok ulama mutafannin, yaitu menguasai seluruh cabang cabang keilmuan yang menjadi perangkat seorang ulama secara mendalam; dari mulai ilmu ilmu alat – semisal nahwu shorof, mantiqh, balaghah, dan arudh (ilmu syi’ir) sampai ilmu hadits, tafsir, ulumul qur’an dan ilmu falak
Selain ‘alim dalam berbagai literatur keagamaan Islam, beliau juga di kenal sebagai penyair yang menulis puluhan bait puisi berbahasa Sasak, Indonesia dan Arab.
Roni Amrullah menjelaskan pada syair-syair beliau yang berbahasa indonesia, di samping menampilkan kegelisahan dan keprihatinan sosial, juga menampilkan kegelisahan religiusnya sebagai akibat interaksi sosial budaya dengan lingkungannya, dalam kebanyakan syairnya beliau berusaha menampilkan segi sosio religius yang bersifat etis, terapis, dan konseptualis.
Maulana Syekh tumbuh dan besar dari keluarga yang terhormat, bahkan dalam beberapa literatur beliau, beliau di katakan masih keturunan dinasti kerajaan Selaparang yang XVII. Beliau adalah putra dari enam bersaudara anak dari TGH. Abdul Madjid, sedangkan ibunya adalah seorang shalihah bernama Hajjah Halimatus Sa’diyah. Ia dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur, pada tanggal 18 Rabi’ul Awal 1326 H/20 April 1908.
Ketika umurnya baru menginjak 15 tahun, beliau dibawa oleh kedua orang tuanya ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agama. Semasa belajarnya beliau dijuluki santri jenius, julukan itu disematkan lantaran beliau berhasil menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah Mekkah, Arab Saudi pada 1933 dengan predikat istimewa (Summa Cumlaude).
TGKH. Zainuddin dan Sastra
Pergulatan Maulana Syekh dengan Kesastraan Arab bermula semenjak beliau belajar di Mekkah, dalam perjalanan studinya beliau dikisahkan sempat belajar ilmu sastra dari seorang ahli syair yang sudah terkenal di Makkah. Hal ini diakui oleh Rina Devianty, seorang Dosen Institut Agama Islam Negeri Medan dalam bukunya “Literasi Ulama di Indonesia : Kajian Berbasis Organisasi Keagamaan Al Jam’iyatul Washliyah Sumatera Utara dan Nahdlatul Wathan Nusa Tenggara Barat”.
Maulana Syaikh selama hayatnya banyak menulis syair dalam bahasa arab, melayu, dan sasak. tidak kurang dari 15 syair yang beliau telah karang.
Dalam sastra arab (Balaghah) beliau mengarang kitab Mikraj Sibyan Ila samai Ilm al Bayan — yang dikarang pada tahun 1935 — merupakan kitab balaghah pertama yang dikarang oleh putra asli Lombok. Di samping mengarang kitab beliau juga mengarang syair syair dalam bahsa arab. Diantara syair-syair yang belaiu karang dalam bahasa arab adalah adalah : Hayya Ghonu Nasyidana, Antiya Pancor, Ya Zaljalali Wal Ikram, Nahnu Fityanul Ulum, Imamuna Syafi’i.
Mengenai Nasyid beliau ini Siti Shafiyah Rahmatullah, dalam tesisnya yang berjudul “Muhassiat Lafdziyah fi al Anasyid lil Syaikh Zainuddin Abdul Madjid : Dirosah Tahliliyah Balaghiyah”, menganalisis terdapat dua macam keindahan lafadz yang cenderung di gunakan beliau dalam menyusun lagu lagu ciptaan beliau, yaitu jinas dan saja’. Dalam lima syair yang diatas saja terdapat delapan jinas dan lima belas saja’ yang ditemukan. Syair-syair Maulana Syekh dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi masyarakat sasak yang suka dengan nyanyian.
Lepas dari itu semua, dalam beberapa syairnya yang berbahasa melayu kita akan temukan banyak penggunaan bahasa dan ungkapan sederhana yang tidak berbelit-belit dan ringkas. Sehingga mudah untuk di hafal karena bersinggungan dengan tema yang selalu aktual untuk ukuran zamannya. Ini tentunya agak berbeda dengan penyair penyair lain yang cenderung akrobatik dalam menggunakan bahasa yang sulit dan jarang di gunakan oleh orang kebanyakan
Tuan Guru Zainuddin seorang yang Fakih
Maulana Syekh dikenal sebagai tokoh yang cerdas dalam bidang fikih, kemampuan berbahasa arab beliau yang mumpuni membentuk beliau menjadi seorang fakih yang mumpuni. Kemampuan beliau dalam memahami fikih tidak hanya berhenti pada kemampuan mengeluarkan fatwa, tetapi beliau juga banyak membuat karangan. Diantara karangan yang beliau tulis dalam bidang fikih adalah : Sullamul Hija Syarh Matn Safinatunnaja, Nazhom Nahdlatu al Zainiyah, Tuhfatu al Amfenaniyah, Fawakihu an Nahdliyah.
Kebanyakan karya beliau dalam hukum islam berbicara tentang Fiqh al Mawarits (Ilmu Waris). Beliau menulis kitabnya dengan bahasa sastra arab yang sangat tinggi. yang lebih menarik lagi salah satu karya beliau dalam bidang fikih yaitu Fawakihun an Nahdlyah beliau diselesaikannya dalam satu malam, sehingga kitab itu sering dijuluki Bint Lail (anak malam). Karya beliau ini beliau rampungkan pada tahun 1969.
Kitab ini beliau tulis atas dasar keresahan hati beliau pada realitas sosial masyarakat yang pada saat itu penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian. Dengan hadirnya kitab Nahdlatuzzainiyah al-Zainiyyah dan Tuḥfah Al- Anfanāniyyah karya Maulana Syaikh (pada zaman itu) memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat sasak yang terkait dengan ilmu waris Islam.
Dengan hadirnya karya beliau ini juga ternyata telah memudahkan masyarakat untuk memahami hukum waris Islam, karena beliau berupaya menyampaikannya dalam gaya bahasa yang ringan dan penjelasan yang terang. Kala itu, dan bahkan hingga hari ini, banyak individu dalam masyarakat Lombok yang berselisih tentang pembagian warisan. Oleh karena adanya perselisihan yang kerapkali muncul itu, Maulana Syaikh menyelesaikan tulisan tentang hukum waris ini. (Zainal Arifin, 2018:370)
Sebelum hadirnya karya beliau ini, beliau juga sebenarnya menyampaikan kajian tentang hukum waris di berbagai majlis ilmu. Dan dalam beberapa kasus, beliau turun sendiri dalam menyelesaikan sengketa waris dalam masyarakat dengan menggunakan hukum waris Islam. Terkadang apa yang beliau tulis seringkali beliau tinggalkan, karena realitas masyarakat yang secara psikis belum sanggup menerima hukum waris Islam.
Ketika saya berusaha menyajikan figur Maulana Syekh sebagai tipikal Ulama Fikih yang Penyair saya teringat dengan sosok imam syafi’i (pendiri mazhab syafi’i), beliau merupakan ulama fikih yang kepakarannya bukan sekedar isapan jempol karena di akui oleh banyak kalangan ahli fikih. Tetapi mungkin tidak banyak yang tau disamping keamashuran beliau sebagai seorang ahli fikih beliau juga terkenal sebagai seorang sastrawan dan penyair yang menjadi rujukan penting dunia sastra (arab). Ada sedikit kemiriapan antara beliau sebagai figur Ulama’ yang Nyastra.
Akhirnys semoga ulasan singkat ini bisa menjadi penyemangat untuk teman teman kaula muda untuk senantiasa berjuang Li I’lai Kalimatillah Izzul Islam Wal Musliamin ( sebagaimana moto yang sering di dengungkan pendiri Nahdaltul Wathan ketika beliau masih hayat
Tulisan ini pertamakali terbit pada sinarlimanews.com dengan judul yang sama
.....
Abdul Malik Salim Rahmatullah, Ketua Perwakilan Nahdlatul Wathan Mesir, Pendiri Syekh Zainuddin Institute. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar Kairo.
0 comments