Meninjau Ulang Praktik Poligami dalam Islam
Februari 11, 2022Adapun alasan-alasan para pendukung poligami, seperti : bagi kaum suami akan terjaga dari perbuatan selingkuh, manakala istrinya sedang berhalangan untuk digauli. Kemaslahatan yang demikian, sesungguhnya sangat lemah untuk diangkat sebagai landasan hukum kebolehan poligami. Pasalnya, untuk menyalurkan kebutuhan seks pada istri yang berhalangan masih bisa dilakukan tanpa selingkuh atau tanpa berpoligami. Sedangkan bagi kaum perempuan yang menghalalkan poligami menyebutkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Mereka mengkhawatirkan banyak perempuan yang tidak mendapatkan suami jika poligami diharamkan, yang akibatnya akan mengganggu etika sosial. Penggambaran kasus sosial seperti ini, jelas sekali sangat merendahkan kaum perempuan. pada zaman primitif atau zaman jahiliyah mungkin bisa diterima karena para perempuan pada waktu itu masih sangat terbelakang.
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, seodang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berpendapat bahwa poligami adalah perselingkuhan yang legal. Beberapa pakar hukum islam kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh lebih memilih melarang poligami dan hanya memperbolehkan poligami dalam kondisi darurat, adanya poligami dapat menyebabkan terjadinya pertentangan di dalam masyarakat, sebab praktik poligami di zaman ini dapat memicu permusuhan antara para istri, anak-anak dan keluarga. Akibatnya, permusuhan itu akan meluas dalam kehidupan masyarakat. Manakala praktik poligami tidak sejalan dengan tujuannya, status hukum poligami harus dipertimbangkan kembali. Bila sebelumnya legal, maka pada saat ini praktik poligami bisa dilarang. Saat ini negara islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko.
Sumber hukum yang tepat untuk mengharamkan poligami adalah kasus larangan Rasulullah saw. terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib yang akan menduakan Fatimah al-Zahra binti Muhammad saw. dengan seorang perempuan putri (keturunan) Abu Jahal. Sebagaimana hadis dari al- Miswar bin Makharamah berkata : “ Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika di atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan salah satu dari mereka dengan Ali bin Abi Thalib dan saya tidak mengizinkannya, tidak dan tidak kecuali Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku dan menikah dengan anak perempuan mereka. Sesungguhnya anakku bagian dari dariku, maka apa yang meragukannya juga meragukanku, dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku”. (H.R. Bukhari).
Pendapat di atas juga dikuatkan oleh pendapat Quraisy Syihab, terkait QS. al- Nisa’ ayat 3 yang tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilakukan ketika amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Asbabun nuzul dari QS. al-Nisa’ bahwa konteks turunnya ayat ini adalah ketika selesai perang Uhud, yaitu perang yang merenggut nyawa para sahabat sebanyak 70 dari 700 orang laki-laki. Akibatnya banyak perempuan Muslimah menjadi janda dan anak yatim yang harus dipelihara. Maka menurut konteks sosial ketika itu jalan terbaik untuk memelihara dan menjaga para janda dan anak yatim adalah menikahi mereka, dengan syarat harus adil.
Dengan demikian, praktik poligami tidak pernah diperintah oleh Allah swt. Praktik tersebut hanya diperbolehkan saja. Maka, orang yang tidak mampu melaksanakannya tidak diperbolehkan untuk melakukan poligami dan beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada yang membolehkan poligami dengan syarat yang longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat. Di antara mereka juga ada yang menegaskan bahwa dibolehkannya poligami hanya dalam keadaan darurat saja.
...
Liana Syhahrain, Koordinatir Biro Sosial, Ekonomi dan Keuangan Pengurus Perwakilan Nahdlatul Wathan Mesir.
0 comments