Hukum Telat Qadha Puasa Hingga Datang Ramadhan Berikutnya
Maret 31, 2022Dalam beberapa keadaan ada saat dimana seorang muslim/muslimah diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, antara lain saat sakit, bepergian, hamil, atau menyusui. Jika tidak berpuasa di bulan ramadhan, mereka wajib untuk mengganti puasanya di luar ramadhan (baca: mengqadha'). Namun, bagaimana jika hingga ramadhan berikutnya ia belum sempat mengqada' puasanya?
Semisal ketika seorang wanita yang dalam keadaan hamil di bulan Ramadhan, kemudian ia tidak berpuasa karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha' puasanya di hari lain. Namun, begitu Ramadhan berlalu, ia mengalami runtutan peristiwa yang memberatkan untuk meng-qadha' puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan lalu. Misalnya sebab melahirkan, nifas, dan program menyusui yang berlangsung berbulan-bulan. Hingga tidak sempat mengqada' puasa hingga bertemu bulan ramadhan berikutnya. Bagaimanakah si Perempuan ini harus menyikapi keadaan ini?
Contoh lainnya, semisal jika ada seorang yang sakit lalu kemudian meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk mengqadha' puasa di hari lain. Tetapi ternyata setelah bulan Ramadhan berlalu, ia belum juga mengqadha' puasanya sampai Ramadhan berikutnya tiba karena alasan lupa, lalai, atau sebab sakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana hukumnya?
Pertama, Hukum Menunda Qadha’ Karena Udzur Syar’i
Seluruh Fuqaha (jamak fakih) sepakat bahwa orang yang memiliki kewajiban untuk mengqada' puasa ramadahan, kemudian dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh mengqadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 32, hlm. 70)
Apa yang di maksud Udzur Syar’i disini adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung atau disusuinya.
Jadi, kaitannya dengan keadaan perempuan diatas maka wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga tidak berkewajiban untuk membayar fidyah.
....
Kedua, Hukum Menunda Qadha’ Tanpa Udzhur Syar’i
Akan tetapi, bagaimana jika ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, baik itu karena hamil, menyusui, sakit atau musafir, kemudian ia tidak mengqadha’nya karena lalai hingga bertemu Ramadhan berikutnya?
Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi saw. berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam mengqadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.
Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.
Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua, ditambah dengan kewajiban membayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.
Jika ia punya hutang puasa 7 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 7 hari itu. Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 4 hari, sedangkan sisanya yang 3 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 3 hari saja.
Fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri tempat tinggal, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud menurut Imam Malik, Imam As-Syafi'I kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa.
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg).
Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.
.......
Abdul Malik Salim Rahmatullah, Ketua Pengurus Perwakilan Nahdlatul Wathan Mesir, Mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum Universitas Al-Azhar Kairo.
0 comments