Nabi Muhammad: Manusia Sederhana, Seorang Ummi, atau Manusia Cerdas?
April 20, 2022Setidaknya ada empat (4) model studi tentang sosok Nabi Muhammad: (1) dari sisi sejarah filsafat, (2) dari perspektif sejarawan, (3) dari sisi studi Islam (Islamic studies), dan (4) model dakwah dari ulama Muslim. Mari kita lihat satu per satu. Pertama, dari sisi sejarah filsafat. Adalah Miguel Asin Palacios (1871-1944), seorang orientalis Spanyol yang ahli Bahasa Arab dan Studi Islam, dalam “Kata Pengantar” buku The Mystical Philosophy of Ibn Masarra and His Followers (1914) menulis seperti ini: masyarakat Arab hidup dalam bumi yang yang tandus, dikelilingi gunung batu, sebagian besar masyarakatnya berprofesi pedagang yang tergabung dalam identitas suku-suku. Keyakinan keagamaan mereka, kalau bukan ateis, ya para penyembah pagan. Sedikit suku saja di antara mereka yang memiliki kontak dengan tetangga mereka yang Yahudi, Zoroaster, atau beberapa sempalan Kristen. Seluruh budaya sekuler mereka adalah empiris dan praktis (bukan reflektif, filosofis dan kontemplatif) sesuai dengan hajat kehidupan mereka saat itu. Tidak ada budaya reflektif, filosofis dan kecenderungan saintifik pada masyarakat Arab saat itu. Hanya puisi dan retorika yang menjadi seni perhatian mereka.
Dalam konteks masyarakat dan lingkungan model inilah Muhammad hidup. Muhammad, kata Palacios, tentu sangat terpengaruh oleh kondisi geografis dan sosial seperti itu, termasuk beliau dikelilingi oleh berbagai agama dan keyakinan. Oleh sebab itu, menurut Asin Palacios, Islam yang dibawa Muhammad tidak orisinal dan membawa ajaran yang sangat sederhana: tawhid, yakni mengesakan Tuhan Allah (nama Allah sendiri sudah dikenal oleh orang-orang Arab saat itu) sembari mengharamkan idolatry (pemujaan berhala) dan astrolatry (pemujaan benda-benda angkasa atau praktik penujuman) yang dianut oleh sebagian besar suku-suku Arab saat itu, dengan menggunakan ajaran monoteisme Yahudi dan Kristen Nestorian. Meskipun Nabi Muhammad dengan tegas menolak doktrin Kristen soal Trinitas (yang rumit-filosofis) dan Inkarnasi, namun di saat yang sama, Nabi melalui wahyu, melestarikan dan meneruskan praktik keagamaan Yahudi dan Kristen seperti shalat, puasa, pembersihan diri (purification, tazkiyat al-nafs), zakat, haji, kisas dan lain-lain. Pernyataan misi suci Muhammad bahwa beliau melanjutkan dan menyempurnakan secara definitif para Nabi dan wahyu Kristen, kata Palacios, semakin menggambarkan betapa sederhana sketsa dan formula ajaran al-Qur’an itu. Menurut Palacios, dari sisi falsafi, dogmatika dan etika, muatan al-Qur’an sangat miskin. Tuhan Allah yang digambarkan al-Qur’an adalah tuhan yang tiran, diktator dan despotik, yang maha kuasa yang cuma bisa memberi pahala dan menyiksa.
Ketika Islam menyebar luas ke luar Arabia: ke banyak negeri di Afrika Utara, Afrika Barat, Asia Tengah, Persia, hingga ke Eropa Barat, Islam kemudian dipeluk oleh muallaf-muallaf baru yang berlatar belakang Yahudi, Kristen (dalam banyak sektenya), Zoroaster, Hindu dan Buddha. Meskipun para muallaf itu telah memeluk agama baru, mereka tidak bersikap eksklusif. Sebagian besar muallaf yang memeluk Islam itu tetap mempertahankan kecintaan mereka yang mendalam terhadap budaya dan tradisi komunitas darimana mereka berasal (Yudaisme, Kristen, Hindu-Buddha, atau Zoroastrianisme). Dalam Bahasa Asin Palacios, orang-orang non-Arab yang memeluk Islam itu, yang memiliki latar belakang kekayaan budaya dan tradisi filosofis, merasa tidak puas dengan gambaran atau doktrin Islam yang mereka terima, yang mereka anggap terlalu sederhana, tidak filosofis, dan kurang artistik. Akhirnya, kata Palacios, mereka mulai memikirkan secara nalar-rasional dogma-dogma kaum Muslim yang mereka terima dengan kebiasaan mereka sebagai Kristen, Yahudi, Zoroaster, Persia, Siria, Koptik, atau Bizantium, dan membandingkan dogma-dogma tersebut dengan standar norma dan prinsip filsafat Yunani, Romawi, Persia, India dan lain-lain. Maka yang terjadi kemudian adalah munculnya “bid’ah-bid’ah baru” dalam tatanan masyarakat Muslim yang baru saat itu. Pada mulanya, Islam, melalui para ulama dan pengkhotbahnya, menolak keras infiltrasi doktrin agama-agama lain dan kultur Helenisme itu. Namun, menurut Palacios, ketika keadaan sudah tenang, dakwah sudah melembut, perang telah usai dan digantikan dengan kehidupan yang santai, damai, dan tentram di kota-kota mewah, diikuti dengan budaya halus, yang dibangun oleh kekhalifahan Abbasiyah, maka hasrat ingin tahu dan ingin mendalami filsafat, astronomi, logika, fisika, dan kedokteran tak bisa dibendung lagi. Para khalifah Abbasiyah berjasa besar dalam memperkenalkan ilmu-ilmu Yunani melalui terjemahan karya-karya seperti Plato, Aristoteles, Porphyry, Alexander Aphrodias, Hippokrates, Galenus, Euklid, dan Protomoeus (Ptolemy). Terjemahan-terjemahan ini dilakukan dari Bahasa Syria ke Arab oleh para penerjemah Kristen Nestorian, Syria dan Kaldean (Chaldea) dalam posisi mereka sebagai dokter-dokter istana yang melayani para khalifah. Al-Manshur, khalifah kedua Abbasiyah, dan cucu hebatnya, Al-Ma’mun, menunjukkan antusiasme tinggi dan luar biasa pada upaya penerjemahan ini selama abad ke-8 dan 9 Masehi. Fakta historis ini kemudian memunculkan apa yang disebut sebagai “kosmopolitanisme Islam”.
Jadi, dalam gambaran Asin Palacios, Nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah adalah pribadi yang sederhana, tidak canggih, tidak punya citarasa filsafat dan saintifik-intelektual. Islam menjadi “hebat” dan “mercusuar peradaban” setelah kontak dan mengambil banyak dari tradisi filsafat Yunani, Persia, Kristen, Zoroaster, Hindu dan lain-lain. Orientalis seperti Asin Palacios ini ada banyak. Saya ambil contoh Palacios saja sebagai representasi yang lain.
Komentar saya: (1) Jika melihat sejarah Islam, terutama abad pertengahan dan masa modern, ada kelompok-kelompok Muslim konservatif yang ingin mengikuti dan meniru Nabi secara literal (harfiah); ingin meniru semua aspek kehidupan Nabi. Tetapi yang terjadi kemudian adalah bahwa mereka cenderung menolak filsafat, anti sains, dan menolak nalar dalam memahami agama. Mereka mengkampanyekan Islam yang tertutup dengan dalih: tidak ada pada masa Nabi atau tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi. Dengan fakta adanya kelompok-kelompok konservatif itu, maka pandangan Asin Palacios tidak sepenuhnya salah. (2) pandangan Asin Palacios tentang “bid’ah-bid’ah baru” dalam Islam tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena Al-Qur’an sendiri sangat kaya dengan ide-ide dan rumusan filosofis, sains, dan panduan moral spiritual Selama periode 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi Muhammad sejatinya sudah menerima wahyu yang mengandung gagasan filosofis dan saintifik. Kita bisa mengonfirmasi kedua hal itu jika kita membaca al-Qur’an secara cermat dan komprehensif. Namun, orang-orang beriman pengikut Nabi di Mekkah dan di Madinah, kira-kira menurut Nabi, akan sulit menerima dan mempraktikkan gagasan-gagasan filosofis dan saintifik tentang Tuhan, manusia, kosmos dan jagad raya ini karena berbagai alasan, misalnya mereka adalah orang-orang yang baru memeluk Islam dan tidak memiliki kultur filosofis dan saintifik. Karena itulah, Nabi melalui banyak hadis dan sunnahnya, lebih menekankan aspek akidah, ibadah (ritual) dan etika (moral Islam). Fakta ini tidak menghilangkan fakta-fakta lain yang tersebar luas dalam ratusan ayat-ayat al-Qur’an tentang gagasan filosofis yang rumit dan dasar-dasar sains (sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, kedokteran dll).
0 comments